11.21.2015

Bubbor Paddas Buatan Mama'

Sebagai anak, walaupun sudah bersuami, saya selalu ingat masakan buatan Bunda sendiri. Nostalgia lewat makanan, tepatnya. Buat yang membaca, semoga tulisan ini bisa jadi pembelajaran yaa, tentang keragaman budaya dan lanskap budaya, salah satunya lewat kuliner tradisional.

Baiklah. Cerita yang hari ini akan saya tulis adalah tentang Bubbor Paddas atau Bubur Pedas. Ada yang sudah pernah makan bubur pedas?

Bubbor Paddas (photo by Janiarto Paradise)


Okey, tampilan bubur pedas bagi sebagian orang memang kurang menarik. Biasanya oleh orang-orang yang belum pernah mencicipi kuliner tradisional ini. Banyak kenalan kami yang salah paham kalau bubur pedas ini bubur yang rasanya pedas, sehingga yang tidak tahan pedas menolak mencicipnya. Padahal tidak pedas kok. Dibilang pedas karena menggunakan sahang atau merica sebagai salah satu bahan penting. Lebih ekstrim lagi, ada juga lho yang mengatakan tampilannya menjijikkan. Untuk yang berkomentar seperti ini, alih-alih membalas komentar, biasanya Mama' membuatkan mereka bubur pedas racikan Mama' dan membiarkan mereka mencicip sedikit. Lucunya, kebanyakan dari mereka langsung jatuh cinta pada makanan enak berpenampilan kurang menarik ini. Malah Mama' sering diminta membuat bubur pedas kalau ada acara di rumah kami. Tuh, ketagihan deh. Hihihi. Mungkin pelajaran penting dari kuliner ini adalah: Jangan terlalu mudah menilai lewat penampilan. :)

Sebagai wanita berdarah Sambas, Mama' memperkenalkan makanan khas Sambas ini sedini mungkin kepada anak-anaknya. Saya dan Kakak sudah kenal dengan bubur pedas dari kami kecil. Tak hanya kenal, kami juga diwajibkan membantu Mama' membuat bubur pedas setiap ada kesempatan kumpul bersama keluarga. Biasanya pas arisan.

Dulu saya tidak suka bubur pedas. Pertama, karena saya kecil tidak suka makan sayur. Bubur pedas sarat akan sayur mayur. Ada midding (pakis), kembille' (ubi jalar), daun kangkung, kacang panjang, cangkok manis, dan kawan-kawannya. Susah sekali mau membuka mulut untuk memakannya, tapi karena dimakan beramai-ramai, daaan cara membuat yang cukup makan waktu dan tenaga (rugi dong, capek-capek ikut membantu masak tapi tidak makan), akhirnya saya terbiasa makan bubur pedas. Bahkan sekarang saya sangaaaat suka makan bubur pedas. Enak!

Hal kedua yang membuat saya dulu tidak suka bubur pedas adalah, karena prosesnya yang cukup merepotkan. Bumbu keringnya harus disiapkan sehari sebelumnya, karena melibatkan proses penyangraian dan penggilingan. Sayur mayur yang banyak ragamnya harus dibersihkan, dipotong. Belum ditambah memotong halus daun kunyit dan daun kesum. Repot. Iya sih, semua masakan pun harus disiapkan (dibersihkan, dipotong) tapi karena jenis dan jumlahnya lumayan banyak, jadi agak melelahkan. Apalagi dulu waktu saya kecil, belum ada kecambah (alias toge) berekor pendek. Karena itu ekor kecambah harus dipotong satu-satu. Ini kebijakan Mama'. Dan saya lah yang hampir selalu kebagian tugas itu, Heuheu. Biasanya sampai sakit punggung gara-gara ini. Untungnya ada abang sepupu (Bang Ewin) yang biasanya datang membantu membersihkan kecambah. Setelah repot menyiapkan semuanya, menikmati bubur pedas hangat bersama orang tercinta terasa sangat menyenangkan. Bukan hanya di lidah, tapi juga di hati.

Benarlah kata pepatah jaman dahulu: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. :)