5.27.2015

Selamat Jalan, Kakek Nazir

Dua hari lalu, siang hari, Kanda menerima telpon dari Ibu' yang mengabarkan kalau Kakek Nazir dirawat di salah satu rumah sakit di Jakarta. Dengan pertimbangan tanggung kalau langsung berangkat siang itu dan kami pun masih kemas-kemas rumah setelah pindahan, rencananya kami baru akan menjenguk di esok harinya. Tapi beberapa jam berikutnya, sore sekitar pukul 4, ibu menelpon lagi dan mengabarkan kalau Kakek sudah tiada. Inna lillahi wa inna illaihi roji'un... :'(

Kami pun memutuskan untuk segera ke Jakarta hari itu juga. Berangkat pukul 5 sore dari kontrakan (baru) di kawasan Cibeureum Petir, Dramaga, kami akhirnya tiba sekitar pukul 10 malam di rumah duka yang berada di kawasan Rawamangun, Jakarta.


Kakek Nazir adalah saudara sekandung neneknya Kanda. Dulu saya pernah bertemu dengan beliau 2 kali. Pertama kali waktu lebaran beberapa tahun lalu di rumah paman Kanda di Pontianak, hanya pertemuan singkat. Pertemuan kedua adalah waktu saya dan Kanda berkunjung selama sepekan ke rumah beliau di Jakarta sekitar 3 tahun lalu. Di pertemuan kedua ini, saya cukup sering jadi teman ngobrol kakek setelah jam makan.

Kakek Nazir orangnya seru dan lucu, kalau bercerita sangat bersemangat. Kebetulan saya juga tipe yang suka mendengarkan cerita, jadi pas lah. Kakek bercerita, saya mendengarkan. Walaupun di sela-sela ceritanya, Kakek Nazir sering bertanya "kamu siapa?" dan saya jawab saya menantu Ibu' (keponakan Kakek) lalu beliau akan berkata "oh ya ya" ~ini siklus berulang~, saya sangat menikmati cerita-ceritanya. Kata Nenek Sal (istri Kakek Nazir), Kakek terkena pikun beberapa tahun belakangan, jadi wajar kalau bertanya berulang-ulang. Namanya juga lupa. Cuma ya itu, awalnya saya agak canggung karena ditanya terus. Kalau kata orang barat, awkward. Tapi setelah berkali-kali sih biasa saja, malah terhibur...

Setelah merantau dari kampung halaman di Sumatera Barat, Kakek Nazir pernah lama tinggal di Pontianak, baru kemudian pindah ke Jakarta. Waktu saya ditanya berasal dari mana, beliau sempat tidak percaya karena menurutnya logat atau cara saya berbicara tidak mirip dengan orang Pontianak kebanyakan. Beliau lalu menirukan gaya dan logat bicara orang beting (salah satu wilayah kota Pontianak yang dihuni oleh mayoritas melayu keturunan raja), dengan r berkarat-karat, cara bicara cepat dan menggunakan beberapa kosakata khas. Fasih sekali. Saya dan suami sampai tertawa-tawa mendengarnya. Lalu saya jelaskan kalau saya bukan dari kampung beting kepada Kakek. Apalagi Mama' saya melayu Sambas (bukan melayu Pontianak), jadi walaupun akar bahasanya sama, logatnya berbeda. Tapi beliau tetap protes (sambil bercanda) atas penjelasan saya. Pokoknya saya tidak terlihat seperti orang Pontianak, begitu menurut beliau...

Aah, Kakek. Ingat ini saya jadi haru.. Padahal saya anggota keluarga baru, bukan cucu Kakek pula. Tapi kehangatan beliau (dan istri) waktu menyambut kami akan saya ingat dalam hati.

Selamat jalan, Kakek Nazir bin Ibrahim (10 Nov 1935-25 Mei 2015). Semoga beliau khusnul khotimah, diterima amal-amal baiknya, diampuni dosa-dosanya, dilapangkan kuburnya, dan diberikan tempat terbaik di sisi-Nya. Aamiin ya Rabbal 'alamin.