5.25.2015

Nostalgia tentang Tempat yang Hilang

Sabtu malam. Setelah menyantap makan malam, Kanda duduk di atas motor di dekat teras rumah. Santai. Saya juga ikut-ikutan keluar untuk menikmati udara segar di luar rumah. Suasana kompeks rumah kontrakan sahabat saya itu memang tenang, ditambah keberadaan berbagai pepohonan rindang yang dihuni berbagai jenis burung, rasanya menenangkan. Saya berdiri di teras sambil berbincang kecil dengan Kanda. Tak lama, Mimil, sepupu Nhepa yang ikut ke Bogor juga keluar, disusul Nhepa yang baru selesai menidurkan anaknya.

Tanah yang hilang
credit: Bay Ismoyo/ Kompas

Suasana tenang dan adem di kompleks tersebut mengingatkan kami kepada tempat-tempat kenangan. Nhepa dan Mimil menceritakan Anjungan, Kanda ikut nyambung dengan topik Anjungan karena dulu sering ke sana mengunjungi teman dekatnya, Chairil; sedang saya tidak terlalu tahu dengan tempat-tempat di Anjungan karena hanya beberapa kali ke Anjungan. Yang saya ingat, dulu saya hampir mengambil lokasi penelitian di sana. Saya sempat survey awal penelitian tentang kantong semar (Nepenthes spp.) di Anjungan, tapi urung karena pertimbangan habitat kantong semar di Bukit Passi lebih terancam daripada Anjungan. Oh, ternyata saya keliru. Ternyata semua habitat kantong semar dan berbagai hewan dan tumbuhan lain di Kalimantan Barat terancam oleh perkebunan monokultur, kau-tahu-apa.

Mimil yang asli dan tinggal di Anjungan bernostalgia dengan Nhepa tentang kampung halamannya. Betapa dulu kampungnya berudara sejuk dan airnya bening. Nhepa mengiyakan. Di kebun keluarga yang seperti hutan, mereka sering menunggui buah durian. Saking melimpahnya buah durian di Kalbar, kami kenal dengan makanan dari fermentasi durian, namanya tempoyak. Waktu Kanda menanyakan kabar hutan dekat bukit, ia berkata, sekarang sudah tidak ada hutan lagi di daerah tersebut, yang tersisa hanya yang di bukit. Bahkan bukit-bukit kecil di sekitar bukit tersebut telah diratakan untuk perkebunan. Artinya, hutan yang kaya satwa dan flora unik telah banyaaaak hilang. Sungguh, sedih rasanya.

Saya lalu teringat pada tanah kebon keluarga di Sabong dan lokasi penelitian saya dan suami baru-baru ini, Desa Ensaid Panjang, Sintang. Kurang lebih Anjungan, keduanya terletak di hulu sungai. Fungsinya tentu saja sebagai serapan air. Tapi ya begitulah. Tempat yang penuh kenangan bersama keluarga itu telah jauh berubah. Sungai kecilnya sudah tidak lagi mengalir, cuacanya lebih panas, tanah kami pun diserobot.

Sebenarnya tidak hanya tiga tempat itu. Hanya kebetulan yang kami ceritakan kemarin adalah yang dekat dan kami rasakan sendiri. Tempat-tempat kenangan itu sudah sulit kami kenali...

Tanaman penghasil minyak sebenarnya tidak hanya itu, banyak komoditas lain. Bahkan belakangan peneliti banyak melaporkan manfaat baik dan teruji klinis dari minyak kelapa (pantai) yang sebenarnya sudah lama dipakai oleh orang Indonesia, sudah menjadi budaya masyarakatnya. Coba tanya orang tua dulu pasti tahu dengan cara membuat minyak kelapa. Sayangnya, karena jebloknya harga minyak kelapa produksi petani kecil yang bersaing dengan minyak tanaman saw*t milik pengusaha bermodal besar, akhirnya produksi jauh menurun. Dampaknya, buah kelapa pantai banyak tidak diolah karena usaha dan biaya untuk mengolahnya tidak sebanding dengan keuntungan. Padahal di luar negeri, virgin coconut oil (VCO) mulai digandrungi, kita yang sebenarnya punya potensi produksi sudah tidak lagi kenal dengan VCO. Miris...

Ah, tapi kalau bicara seperti ini, saya akan dikatai hipokrit oleh orang-orang yang mencari rejeki di bidang tersebut. Padahal bukan. Saya hanya tidak sepakat kalau semua lahan yang dianggap tidur dijadikan perkebunan monokultur. Terlalu banyak potensi alam yang hilang untuk satu komoditas. Terlalu banyak kehidupan yang hilang. Itu saja. Setelah hutan habis dan kebun monokultur tak lagi menghasilkan sedangkan tanah rusak, entah apalah jadinya.

Haruskah kita merasakan dulu menggenggam uang yang banyak namun tak dapat membeli air jika tidak ada yang menjualnya, tidak dapat membeli buah yang dulu melimpah di hutan jika tidak ada yang menjualnya, dan tak lagi dapat menghirup udara nyaman dan pemandangan menyejukkan kecuali gambar wallpaper di laptop?

Saya merasa beruntung mengetahui saya dan teman-teman masih memiliki kenangan manis tentang hutan. Bagaimana denganmu, teman?