5.14.2015

Cerita Jilbab Pertama (2)

Tibalah masa SMA...

OOTD
Anggap saja ini wajah remaja SMA.. :p  *dilempar senyum*

Awal masuk sekolah, saya dan para anak baru lain masih menggunakan baju seragam SMP. Ini diperbolehkan selama masa menunggu seragam dari sekolah jadi. Tentu saja boleh beli seragam sendiri dan langsung dipakai, tapi jarang yang seperti ini.

Masih rapi di ingatan saya tentang kejadian di pekan pertama pasca masa orientasi sekolah (MOS). Pekan itu, kelas sudah mulai diisi dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, tidak lagi diisi sesi perkenalan sekolah oleh kakak-kakak kelas yang iseng. Sekolah berlangsung sebagaimana biasanya.

Sebenarnya saya sudah pernah dengar dari kakak saya (kami satu sekolah) bahwa tiap hari Jum'at sekolah kami tidak mengizinkan siswanya pulang awal. Ini agak berbeda dengan sekolah lain yang membubarkan siswa lebih awal di "hari pendek" tersebut. Bukan berarti siswa muslim dilarang sholat. Malah dengan sistem ini justru memudahkan siswa-siswa muslim beribadah sholat Jum'at. Sholatnya di musholla sekolah.

Lalu bagaimana dengan siswi muslim dan siswa-siswi non-muslim? Yaa, sama. Tidak boleh pulang juga.. :p

Ternyata sekolah kami mewajibkan siswa-siswinya mengikuti ekstrakulikuler agama. Jadi sementara siswa muslim sholat Jum'at, siswi muslim ikut mentoring, siswa dan siswi non-muslim ikut kajian agamanya masing-masing. Ini seperti mendapat jam tambahan agama. Bedanya, pengajar bukan dari sekolah melainkan relawan, biasanya senior-senior yang sudah lulus.

Saya dulu kelas 1G. Kalau diminus siswa lelaki muslim, mungkin setengah kelas berkurang. Dikurangi siswa-siswi non muslim, berjumlah sekitar tinggal belasan. Nah, ini digabung dengan kelas sebelah, kelas 1H. Begitu juga dengan kelas-kelas yang lain, saling berpasangan. A dengan B, C dengan D, E dengan F. Sedangkan untuk siswa-siswi non muslim, mereka akan bergabung dalam satu atau dua kelas sesuai agamanya dan kebijakan pengajarnya.

Nah, untuk mentoring pertama saya, boleh dibilang saya syok berat. Saya ingat, kakak mentor bilang, menutup aurat itu wajib hukumnya. Whaaaaaaaaat?!

Saya bukan cewek yang suka pakai baju seksi. Pilihan saya kebanyakan baju kaos gombrang dan celana sedengkul. Tidak modis dan girly, memang, tapi itulah baju kesukaan saya. Tapi tetap saja itu tidak masuk kriteria menutup aurat versi kakak mentor. Katanya, aurat itu selain wajah dan telapak tangan. Dan sekali lagi, ini wajib, katanya. Apa-apaan itu, sungut saya dalam hati. Kalau wajib, kenapa di sekolah tidak diajarkan begitu? Kenapa saya baru tahu? Sok baik dengan menutup aurat, padahal banyak dosa, bukannya itu munafik? Kan lebih baik biasa saja tapi baik. Terus, katanya Tuhan Maha Baik, tapi kenapa tidak Dia ciptakan semua orang patuh? Katanya Tuhan Maha Kuasa, tapi kenapa Dia tidak bisa membuat semuanya satu dalam agama? Islam semua, misalnya. Katanya Allah Maha Penyayang, tapi mengapa ada surga dan neraka? Sama juga pilih kasih..

Banyak pertanyaan yang memenuhi kepala, tapi tidak langsung saya tanyakan kepada si kakak di depan kelas. Khawatir ditertawakan satu kelas karena pertanyaan-pertayaan bodoh saya.

Pulang mentoring, seperti biasa, saya menelfon ke rumah dulu dari wartel dekat sekolah. Jaman itu hape masih jarang dipakai, masih mengandalkan wartel. Ngantri deh.

Nah, waktu menunggu jemputan itulah, saya melihat kakak mentor kelas saya di depan wartel. Awalnya ragu-ragu, tapi akhirnya saya beranikan diri menanyakan berbagai hal yang mengganggu pikiran saya gara-gara mentoring darinya tadi. Tak disangka, dengan sabarnya si kakak mentor (saya lupa namanya) menjawab pertanyaan-pertanyaan saya yang bertubi-tubi dan cenderung nyolot. Ia juga mengingatkan saya kalau kewajiban menutup aurat itu bukan darinya, tapi dari Allah. Kalau tidak percaya bisa buka Qur'an, katanya. Baca terjemahan, surah sekian ayat sekian. Aduh, saya mati kutu. Kalau sudah bawa-bawa Qur'an kan susah disanggah karena saya tidak tahu banyak tentang isinya. Curang! Itu juga membuat saya tersinggung karena sepertinya ia menuduh saya jarang baca Qur'an. Iya memang benar sih, tapi kan...

Saya tambah kepikiran, walaupun beberapa jawabannya memuaskan. Akhirnya saya pulang dengan perasaan campur aduk..

(Selanjutnya)                                                                                    (cerita sebelumnya di sini)