1.22.2015

Waspada Penipuan oleh Kenalan yang Berdusta

Oke, kali ini saya akan menceritakan modus penipuan yang agak berbeda dengan cerita penipuan yang pernah saya ceritakan sebelumnya (cerita sebelumnya bisa dibaca di sini). Modus yang ingin saya ceritakan kali ini adalah modus kebohongan berlapis yang dilakukan oleh kenalan. Mumpung ingat. Siapa tahu berguna bagi teman-teman pembaca agar terhindar dari modus serupa.

#1
Cerita pertama dialami langsung oleh kedua orang tua saya. Ini berawal dari transaksi beli tanah yang ditawarkan oleh salah seorang rekan kerja Mama'. Karena rekan kerja yang ditemui sehari-hari, Mama' dan Bapak tentu tidak memiliki prasangka buruk kepada orang itu.

Setelah membayar uang muka dan cicilan bulanan, kedua orang tua saya baru tahu bahwa tanah yang dijual orang tersebut ternyata fiktif. Karena itu, kedua orang tua saya menemui orang itu untuk meminta pertanggungjawaban dan mengembalikan uang. Saat ditemui, orang itu membujuk secara persuasif, meyakinkan Bapak dan Mama' untuk mengalihkan uang tanah yang sudah dibayarkan sebelumnya ke investasi saham perusahaan emas. Awalnya keduanya enggan namun akhirnya terbujuk untuk melakukan investasi yang dimaksud.

Ketika saya mendengar ini, sebenarnya saya menyayangkan keputusan Bapak dan Mama'. Rasanya ada yang tidak benar. *dulu saya pernah mengurus sesuatu dengan orang itu dan tidak puas*. Tapi melihat Bapak yang begitu bersemangat menceritakan bahwa ada tetangga (yang sama-sama investasi emas) berhasil meraup keuntungan. Hati saya sedikit lega. Semoga kedua orang tua saya juga segera memperoleh laba seperti yang dijanjikan, batin saya.

Waktu berganti. Saya tidak ingat tepatnya, mungkin hitungan bulan setelahnya. Saya mendengar bahwa investasi tersebut tidak dapat dipercaya. Sebab itu saya menganjurkan Mama' dan Bapak menghubungi orang itu lagi, untuk mendapatkan klarifikasi. Kalau perlu tarik uangnya jika memang tidak yakin. Beberapa kali dihubungi akhirnya kedua orang tua saya bisa menemui orang itu. Menurut orang itu, uang tentu bisa diambil tapi harus melewati beberapa tahap sehingga memakan waktu. Dia bilang dia yang akan menguruskan. Kedua orang tua saya pun kembali menunggu sampai tanggal yang dikatakannya. Tiba hari H dia mengatakan diundur pada tanggal sekian dan pada tanggal T yang dijanjikan, diundur lagi. Begitu berkali-kali. Mama' pernah mengeluhkan orang itu sulit dihubungi karena nomornya terus berganti. Kalaupun aktif, sms tak pernah dibalas.

Sampai pada suatu hari, kecurigaan saya pun terbukti. Sebuah berita di koran mengulas tentang investasi bodong saham emas. Perusahaan tempat kedua orang tua saya berinvestasi disebut-sebut masuk dalam daftar perusahaan yang terindikasi menipu pemegang saham. Positif. Innalillahi wa innaillaihi rojiun. Jumlah uang yang sangat besar pun harus direlakan karena itu.

Lalu apa kabar kenalan Mama' itu? Kata Mama' dia tetap sulit dihubungi, nomornya yang selalu berganti semakin mempersulit komunikasi. Mama' juga jarang ketemu di kantor, kemungkinan orang itu menghindari Mama'. Ini menimbulkan kecurigaan saya, apakah orang itu ikut menjadi korban atau justru menjadi salah satu pelaku penipuan? Kalaupun korban, apakah benar dia tidak pernah menarik uang Mama' dan Bapak dari perusahaan itu? Jika tidak bersalah, mengapa harus menghindar? Entahlah. Hanya dia dan Tuhan yang tahu.

#2
Baru-baru ini saya juga menjadi korban penipuan. Tanpa perlu menyebutkan siapa orangnya (tidak ada gunanya karena ujungnya malah jadi ghibah), mari kita ambil saripatinya kejadiannya saja.

Jadi ceritanya, saya dan kakak saya menitipkan barang dagangan kami kepada seorang kerabat. Berlandaskan kepercayaan dan semangat simbiosis mutualisme, kami menawarkan orang tersebut menjualkan barang dagangan kami. Sebelumnya, kami telah menjelaskan bahwa kami menerapkan bagi hasil. Kami juga tidak memberikan batas waktu. Cukup jualkan semampunya dan jika tidak laku silakan kembalikan kepada kami. Orang tersebut juga mengiyakan. Sampai harinya, dibawanyalah barang dagangan tersebut ke kampung halamannya.

Masa liburan pun berakhir, dia kembali ke kota kami. Barang dagangan tak serta dibawa, katanya adiknya yang akan menjualkan. Dia pun bercerita bahwa adiknya berpengalaman dalam berjualan. Alhamdulillah kalau begitu, batin saya.

Bulan demi bulan pun berlalu. Saat dia kembali dari liburan pulang kampung, barang titipan yang tidak laku kembali tidak dibawa. Dia mengaku lupa. Saat saya bertanya berapa banyak yang laku, dia tidak menjawab dengan jelas dan mengambang. Pembicaraan pun berhenti.

Berhubung barang titipan saya yang paling banyak, Kakak menganjurkan saya yang menagih agar lebih afdhol. Apalagi menurut kakak, saya cukup persuasif. Kami pun sepakat, saya yang menagih agar tidak tumpang tindih tugas dan tidak miskomunikasi.

Setahun berlalu. Selama itu saya menahan diri untuk menagih-nagih setiap bertemu. Maksud saya, dia sendiri yang harusnya ingat dengan janjinya. Saya cukup menagih dan mengingatkan sekali dua kali. Baru saat saya berada di kota hujan untuk merantau, saya merasa perlu menagih. Maklum, cekak.

Untuk menagih tanpa membuat kesal, saya sengaja mengirimkan pesan singkat hanya saat musim libur hampir usai. Maksudnya, agar saat liburan dia tidak terlalu memikirkan dagangan (liburan ya liburan) tapi tidak lupa untuk membawa kembali barang yang tidak laku. Setelah itu bagi hasil penjualan sesuai kesepakatan, beres. Sayang, berkali-kali liburan, alasannya selalu sama, lupa. Ada juga alasan lain, seperti tidak pulang kampung (walaupun di akun facebooknya saya tahu dia pulkam). Alasan terbaru yang paling sering: tanpa kabar. Sms-sms saya banyak yang tidak dibalas.

Karena mulai tak sabar, saya titipkan pesan kepada orang rumah kalau-kalau dia silaturahim ke rumah saat lebaran. Siapa tahu dia ikut membawa barang dan uang hasil dagangan, jadi orang rumah tidak bingung atau kaget. Tapi tak disangka, justru kami lah yang kaget. Lebaran berlalu dan dia sama sekali tidak ke rumah, bahkan mengirimkan sms ucapan permintaan maaf pun tidak ada. Hilang kabar!

Nah, awal tahun baru masehi ini, karena liburan cukup panjang, saya yakin sekali dia pulang kampung lagi. Sebab itulah saya mengiriminya sms. Seperti biasa, tiada balasan. Saya jadi berpikir mungkin nomornya yang lama sudah tidak aktif, jadi saya konfirmasi ke kakak yang mengaku tahu nomornya yang aktif. Ternyata sama kok, nomor hp nya tidak berubah. Berarti sms-sms saya sampai. Mendengar ini, Kakak mengusulkan agar saya mengiriminya pesan lewat fb saja.

Oke, saya pikir itu ide bagus. Setidaknya kalau dia tidak punya pulsa, dia bisa membalas saya lewat chat saja. Apalagi chat lebih leluasa. Kakak yang kebetulan online dan melihat jendela chatnya aktif menyuruh saya untuk inbox segera. Saya kirimlah, menanyakan apakah sms-sms saya masuk. Dan apa yang terjadi? Dia langsung offline tanpa sedikitpun menjawab pesan saya. Saya pikir, oke, mungkin pas dia offline. Beberapa hari kemudian saya sms lagi. Dan kembali, tidak dijawab. Tabiat yang sangat buruk. Padahal sepengetahuan saya, kalau bersama saya orang tersebut tak pernah jauh dari hapenya. Huff, sabar buuuk...

Beberapa hari setelah tanggal 1 masehi berlalu, akhirnya saya dan suami memutuskan perkara ini. Kebetulan suami juga ikut menitipkan barang dagangan, jadi saya dan Kanda urun rembug mengenai apa yang sebaiknya kami lakukan. Untungnya suami cukup tenang menghadapi ini, tidak menyalahkan saya karena orang tersebut adalah kenalan saya. Akhirnya kami pun sepakat, hubungi dan ingatkan sekali lagi orang tersebut. Jika memang dia sengaja tidak membalas, Tuhan lah yang membalas tabiat buruknya itu.

Maka saya pun mengirimi orang tersebut pesan. Kali ini tidak pendek seperti yang sudah-sudah. Karena tahu itu adalah kesempatan terakhir saya menagih hak saya, maka saya panjang lebar mengirim sms. Saya tuangkan semuanya. Tentang kekecewaan saya kepadanya, tentang sms-sms saya yang tak pernah dibalas, tentang prasangka saya karena perilakunya, dan tentang karma yang mungkin mengintainya.

Selepas menulis pesan, perasaan saya jauh lebih lega. Setidaknya saya telah jujur. Salah sendiri kan, kenapa tiap kali saya kontak tidak dijawab. Saya kemudian menceritakan hal ini kepada kakak. Berhubung karena kakak juga punya barang yang dititipkan maka ia berinisiatif untuk menagihnya sendiri. Betul juga, kata saya. Setidaknya untuk bagian kakak saja. Saya sengaja melupakan bagian saya dan suami karena saya sudah tidak yakin itu akan kembali..

Berdasarkan cerita saudari saya, tak lama setelah mendengar curcolan saya, ia pun menghubungi orang tersebut via sms dan inbox facebook. Tidak dibalas. Ditelfon, nyambung tapi tak diangkat. Untung saudari saya cerdik dan tak kehabisan ide. Kebetulan orang itu baru mengunggah foto baru, maka saudari saya segera menulis di komentar foto dengan nada sedikit mengancam, seperti "hayo dibalas, kalau tidak saya tulis di kronologi nih". Efektif. Inbox langsung dibalas.

Chit-chat dengan saudari saya, terbongkarlah sudah bahwa ternyata selama ini dia dan adiknya tidak pernah sama sekali menjual barang yang kami titipkan. Bukan bukan untuk dipakai sendiri, akunya. Alasannya, karena barangnya sudah hilang duluan, ketinggalan di kendaraan yang digunakan saat pulkam dulu! Oh lala...

Mendengar cerita dari saudari saya, saya agak iba sebenarnya. Tapi salah sendiri kan, tidak cerita dengan jujur kepada kami dari awal. Kalau barang sudah hilang, kenapa mengaku barangnya masih ada, ditambah kebohongan tentang adiknya yang menjualkan pula. Duh..

Saat ditanya kenapa dia berbohong seperti itu, dia bilang, dia takut kami marah maka dia mengulur waktu agar bisa mengganti kalau ada uang. Begitu pengakuannya..

Rasa iba yang tadi hinggap di hati, menguap begitu saja. Luar biasa. kami pula yang dijadikannya kambing hitam. Sombong sekali orang itu, batin saya.
Rasulullah pernah bersabda:
"sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain."
Pertama, dia jelas-jelas mengingari kebenaran dengan mengarang-ngarang cerita. Awalnya berkata barang sudah dijual, adik pandai berdagang, lalu berkata barang hilang. Jadi tak jelas yang mana yang benar gara-gara kebanyakan bohongnya. Kedua, dia jelas meremehkan kemampuan kami menahan amarah. Iya, mungkin saya akan marah jika tahu dia menghilangkan barang yang telah saya amanahkan. Itulah konsekuensi, tapi insya Allah akal saya masih sehat. Kalau tahu ada orang yang tidak sengaja melakukan kesalahan, rasanya marah jadi segera reda. Normalnya begitu kan? Yang membuat kecewa, yang dilakukannya malah cuci tangan dengan menuduh (alias suudzon) bahwa kami akan murka karena kehilangan barang yang tak seberapa. Ini lebih cocok jadi pemicu kemarahan saya, kalau dia mau tahu.

Duh, dunia serasa terputar balik. Dia yang salah (telah terjadi), malah dia menyalahkan orang (belum terjadi). *palmface*

Yang menambah kelucuan dan memperjelas semuanya adalah saat kakak melampirkan tautan foto tempat kakak mengancamnya. Ajaib, saya tak bisa membukanya. Saya juga tidak bisa menemukan namanya di daftar teman saya, indikasi bahwa saya telah diblokir. Maka saudari saya pun menanyakan kenapa dia sampai memblokir saya. Dan apa jawabnya? "Tidak, saya tidak memblokir dia".. Apa-apaan?

Saya yang tadinya sempat iba dengan ceritanya tentang barang hilang, kembali sensi. Saya kesal mendengar pengakuannya itu. Kenapa? karena saya yakin seyakin-yakinnya kalau sehari sebelumnya (beberapa saat setelah saya mengirimkan sms panjang yang tadi saya ceritakan) saya masih bisa melihat profilnya. Saya sangat yakin!

Saya pun konfirmasi kepada Kakak saya. Jelas dia yang memblokir saya. Saat Kakak minta konfirmasi lagi tentang itu, keluarlah kata-kata "demi Allah" darinya. Ya Allah, luar biasa! Kalau saja saudari saya tidak kenal saya dan orang itu, mungkin ia akan percaya bahwa saya lah yang memblokir orang itu.

Ini membuat saya kembali berpikir, pantaskah saya percaya lagi dengan orang semacam orang itu setelah berbagai kebohongan yang pernah dia buat kepada kami? *catatan: sebenarnya ini bukan yang pertama* Muncul pikiran saya, jangan-jangan barang hilang pun hanya karangannya. Bisa saja kan? Tapi apapun itu, saya tak ambil pusing. Saya kadung tidak percaya lagi karena ia selalu melapisi kebohongannya dengan kebohongan lain.

Saat orang tersebut akhirnya mengirimi saya sms (dengan nomor yang sama, bukti bahwa dia tidak ganti nomor) dan berkata, "Itulah yang terjadi, terserah mau percaya atau tidak", saya jawab dengan lugas dan jelas, "Sadarkah kamu, bukan barang yang kamu hilangkan, tapi kepercayaan. Kamu bicara seperti lupa, ketika saya percaya kamu, kamu kemana?"..

Jujur saja, saya sakit hati dengan kelakuan orang semacam ini, bohong berkali-kali dan berani sekali bersumpah untuk kebohongannya. Syukurlah bukan saya (yang tersakiti) yang memutuskan tali pertemanan. Mungkin dia sadar kalau saya tahu banyak dengan sifat buruknya, lalu khawatir kalau-kalau saya membongkar kedok wajah polosnya di dunia maya. Jadi, saya harus diblokir dari dunia mayanya agar namanya tidak tercoreng. Yah, mungkin seperti itu. Tapi orang seperti ini lupa kalau di kehidupan nyata, kami masih bisa berjumpa (jika Allah mengizinkan). Saya malah berharap kapan-kapan dipertemukan lagi dengan orang itu agar saya bisa melihat ke dalam matanya ketika melihat saya. Mata takkan berdusta.

Begitulah cerita penipuan yang saya dan keluarga saya pernah alami. Urusannya memang gampang-gampang susah karena melibatkan orang yang dikenal. Lebih dari barang dan uang, tali silaturahmi yang jadi taruhannya. Mau memarahi, tak tega. Tak dimarahi, mereka yang tega.

Syukurlah semuanya telah berakhir. Hikmahnya untuk saya, apa yang tidak kita sukai tapi terjadi, bisa jadi merupakan yang terbaik buat kita. Misalnya, dibohongi dan kena blokir. Rasanya memang tidak nyaman, dobel pula. Tapi kabar baiknya, dijauhkan dari pembohong dan pendusta. :) Alhamdulillah..

Semoga dua cerita nyata ini bisa mengingatkan kita semua untuk lebih berhati-hati, baik ketika menitipi amanah maupun menerima amanah. Keduanya punya konsekuensi. Jika kita dipercaya, jagalah kepercayaan itu. Ingatlah bahwa nilai sebuah kepercayaan jauuuuuuuh lebih mahal dari barang apapun. Kalau sudah hilang, susah ditemukan. Mau beli, tak ada yang jual. Jika ada masalah, ceritakan dengan jujur. Kejujuran akan memenangkan sejuta lapis kebohongan. Sebaliknya, jika kita ingin memberikan kepercayaan, berikan sewajarnya saja agar tidak terlalu kecewa. Ingat, raja dan ratu tega ada dimana-mana, jangan sampai terperdaya atau malah jadi salah satunya (naudzubillah). Waspadalah, waspadalah!  Pernah punya pengalaman yang serupa? Share di komen yaa...