9.13.2014

Cerita Sabtu Pagi

Sabtu pagi. Cuaca cerah. Saya dan Kanda melakukan aktivitas yang kami rencanakan semalam: joging di kampus. Sebenarnya bukan joging juga sih, soalnya kaki saya yang memar masih sakit dan badan masih pegal gara-gara jatuh dari sepeda 2 hari yang lalu. Alhasil saya menyebabkan kami berdua tidak joging, melainkan hanya jalan-jalan. Untung Kanda ingat untuk membawakan kamera, jadi pagi ini jadwal joging barengnya diganti dengan jalan santai dan berburu foto.

Lumayan banyak foto yang saya ambil, terutama sebagai kenang-kenangan dan bahan cerita tentang kampus. Kami juga banyak memotret tanaman-tanaman hias di kampus, buat modal ngajar nanti kalau benar-benar jadi dosen (aamiin).



Pas jalan-jalan tadi, rasanya senang sekali. Pemandangan hijau bikin rileks. Saya rindu pulang ke Pontianak, tapi saya tahu saya juga akan merindukan kampus kami yang hijau ketika pulang nanti. Jadi selama di sini, ya, nikmati dulu.


Penampakan tak elok (dok. pribadi)
Oh ya, saat saya sibuk latihan memotret dan Kanda pemanasan sebelum joging sendiri keliling rektorat, kami terkaget-kaget melihat pemandangan ini >>>>

Dua remaja belasan tahun (terlihat dari penampilan, mungkin SMP atau SMA *ralat: kemungkinan anak kuliahan karena sabtu anak sekolah tidak libur) berjalan "terlalu mesra". Bisa-bisa saja sih, mereka sodaraan atau apalah, tapi kalau melihat bahasa tubuh jelas bukan sodaraan. Yang luar biasa, tangan si laki-laki muda terlihat seperti menggerayang dada si gadis, tapi yang digerayangi cuek bebek. Malah yang melihat yang malu... *palm face*

Saya harap mereka sudah menikah (karena saya dan suami juga masih sering disangka pacaran). Tapi ini di depan umum lho!!! Kami yang sudah menikah saja mikir-mikir untuk bermesraan secara fisik seperti itu di tempat umum. Paling-paling gandengan tangan supaya tidak "terpisah" di tempat ramai. Heuheu...

Apalagi si cewek menggunakan jilbab. Aduh, dik.. :'( #speechless

Saya merasa miris semiris-mirisnya melihat kelakuan sejoli tadi. Terutama efeknya. Bayangkan, gara-gara kelakuan segelintir orang (yang khilaf kelewatan seperti itu), membuat citra jilbab menjadi buruk.

Dulu waktu saya awal-awal berjilbab saja (tahun 2003-an) sudah banyak stigma mengerikan yang menghantui para remaja yang ingin menutup aurat, seperti: "jilbab itu sok suci". Sebagai remaja yang sadar ngaji pun tak lancar, stigma itu begitu berat. Kalau kurang niat bisa mundur teratur. Padahal kalau dipikir dengan akal sehat, ya itu balik lagi ke orangnya. Ya kan? Tohh berjilbab atau tidak tetap saja manusia, tak mungkin luput dari dosa. Saya juga kenal kok orang tidak berjilbab yang sok suci, ada juga yang arogan, tapi apakah dengan begitu secara otomatis semua yang tidak berjilbab juga sok suci, atau arogan? Pikiran seperti itu terlalu sempit.

Saya sering juga sih, mengalami hal-hal kurang mengenakkan dari teman/kenalan wanita yang berjilbab, sama seringnya dari teman/kenalan wanita yang tidak berjilbab. Memang sulit dipungkiri, jilbab memberi "kesan" lebih dibanding tanpa jilbab, tapi kalau mau objektif ya sama saja: semua orang pasti pernah salah.

Sama seperti kasus yang tadi pagi saya, Kanda, dan beberapa pasang mata lain saksikan. Perilaku muda-mudi itu pasti menambah sentimen negatif pada jilbab, dan lebih jauh, islam. Saya saja kaget dan geram. Padahal, sekali lagi, yang salah adalah oknumnya. :((

Jujur. Saya malu. Rasanya wajah saya ikut tercoreng karena bagaimanapun jilbab anak gadis itu menunjukkan IDENTITAS islamnya. Sama seperti identitas islam yang disematkan pada jilbab yang saya gunakan.

Satu pelajaran yang saya dapat dari dua jola-joli tadi, bahwa sekecil dan seremeh apapun hal yang kita kerjakan akan selalu memberi dampak bagi dunia.


Usai Kanda joging, kami ke Bara dengan motor untuk membeli ketupat sayur khas minang sebagai sarapan, kemudian pulang. Sungguh pagi yang penuh warna-warni.