8.27.2014

Sisi Lain Maaf

"Saya sudah memaafkan tapi saya tidak rela atas perlakuannya kepada saya".

Sering kita dengar, atau bahkan bisa jadi kitalah yang berkata seperti itu. Mulut mengaku sudah memaafkan padahal sadar bahwa memaafkan bukan hanya sekadar di mulut melainkan juga di hati.

(sumber gambar: mindcamp.org)
Ketika masih belum dapat merelakan rasa sakit hati, kemungkinan besar kita masih "belum" memaafkan. Memaafkan yang saya maksud di tulisan ini adalah memaafkan secara utuh, termasuk merelakan rasa sakit hati dan tidak mendendam. Belum, tapi bukan berarti "tidak akan pernah" lho ya. Memang kita bisa tetap bersikap sopan kepada orang yang belum kita maafkan, tapi tetap saja memaafkan dan bersikap sopan merupakan dua hal yang berbeda. Kalau sekadar sopan tapi masih sakit hati, sama saja dengan "belum" memaafkan. cmiiw.

Saya sangat setuju pada pendapat bahwa memberi maaf sejatinya adalah untuk kebaikan kita sendiri, rasanya lebih plong. Vise versa, tidak memberi maaf akan membuat hidup tidak tenang dan tidak damai, tidak memberi kebaikan. Saya juga setuju dengan ini, ketika memaafkan orang lain tanpa syarat (baca: tanpa dimintai maaf terlebih dahulu) sebagaimana ditauladankan oleh Rasulullah SAW., hati lebih plong dan ringan serta itu juga lebih disukai dan mulia di sisi Allah.

Tapi terkadang kita lupa, bahwa menyakiti hati orang lain adalah perbuatan, dan setiap perbuatan selalu punya konsekuensi. Dalam hal ini: tidak dimaafkan oleh yang tersakiti. Kita sering lupa, berharap semua orang sama seperti Rasulullah, padahal manusia banyak ragamnya. Ada yang tidak gampang tersulut dan pemaaf, ada yang cepat tersulut tapi pemaaf, ada yang tidak gampang tersulut tapi sulit memaafkan, dan (naudzubillah) gampang tersulut dan sulit memaafkan. Mirisnya lagi, sering pula seseorang menghakimi orang lain terlampau sombong karena "belum" memaafkan, padahal tidak mengetahui sebab musabab kenapa orang tersebut "belum bisa" memaafkan orang yang menyakiti hatinya.

Pikiran "Tuhan aja maafin, masa kita nggak" rentan membuat salah kaprah, seperti ini: "Kalau dia (orang lain) nggak memberi maaf, berarti dia sudah sombong melebihi Tuhan!". Pikiran ini bisa menghalangi proses introspeksi atas kesalahan yang membuat orang lain tersakiti. Lebih buruk, malah ngatain orang lain sombong. ~naudzubillah ya Allah...

Atau bisa pula yang seperti ini, "aduuh, nggak mau maafin orang lain, emang dia tuhan, apa? Tuhan aja pemaaf". Sekali lagi, kita bukan Tuhan Yang Maha Pemaaf.

"Kita ini manusia hina penuh dosa, maka dari itu kita harus memaafkan orang lain". Ini benar, sudah sepantasnya sebagai manusia kita mengingat dosa agar kita mudah memaafkan orang lain, tapi pikiran seperti ini juga dapat melenakan, membuat kita berharap orang lain juga memaafkan kita karena mereka juga manusia. Khawatirnya, kita terlena terus melakukan kesalahan (dengan sengaja) karena toh "orang lain juga manusia, sudah sepantasnya memaafkan saya".

Memaafkan sangat baik dan mulia tapi bukan berarti memaafkan orang lain menjadikan kita ujub karena bisa meniru sifat Tuhan yang sangat tulus memaafkan hamba-Nya dan menghakimi orang lain yang sedang belajar memaafkan sebagai orang yang lebih rendah. Benar bahwa tidak memaafkan adalah cara setan menjerumuskan manusia ke dalam kegelisahan hati akibat menyangkal banyaknya dosa sebagai manusia (sombong), tapi kita juga perlu hati-hati karena bisa jadi mengaku-aku mudah memaafkan adalah cara setan menjerumuskan manusia pada kesombongan yang tidak kentara dipandang mata (ujub). Ujungnya sama-sama penyakit hati. Naudzubillahi min dzalik... :'(
*sombong = menyangkal kebenaran dan merendahkan orang lain.
*ujub = rasa sombong yang tidak terungkap (di hati saja) karena merasa telah melakukan kebaikan. Sulit dideteksi selain oleh diri sendiri.

Dalam hal maaf-memaafkan, keterbatasan manusia sering luput diperhatikan. Manusia bekali oleh Allah dengan pikiran dan perasaan sehingga secara tidak langsung juga diberikan hak untuk memutuskan, apakah akan sesuatu atau tidak, memaafkan atau tidak. Jika bisa memaklumi orang lain yang berbuat salah kepada orang lain, tentu tidak sulit untuk memaklumi kenapa orang yang disakiti hatinya "belum" memaafkan. Tapi yang sering ditemui justru banyak yang dengan mudahnya menuduh orang yang disakiti pelit maaf tanpa memaklumi sakit yang dirasakan orang tersebut.

Kita semua adalah manusia, bukan Tuhan Yang Maha Memaafkan. Demikian pula orang lain, mereka bukan tuhan, karena Tuhan hanya satu. Dengan berpikir demikian, kita bisa sadar untuk tidak seenaknya memperlakukan orang lain. Akan selalu ada konsekuensi dari perbuatan kita. Berupaya untuk tidak melakukan kesalahan dengan sadar dan disengaja akan jauh lebih baik daripada berharap orang lain memaafkan dengan cuma-cuma.

Walau pada kenyataannya kita tidak bisa menyenangkan semua orang dan mungkin menyakiti perasaan orang lain tanpa sadar, pikiran bahwa "setiap perilaku akan selalu membawa konsekuensi" semoga bisa membuka hati untuk memaafkan orang lain dengan tulus.
“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan". (HR Ath-Thabrani)
Memaafkan memang tidak pernah gampang. Kalau maaf adalah urusan gampang dan sepele, tentu tidak akan diajarkan dalam agama. Oleh karena itu, dalam proses maaf-memaafkan diperlukan keterbukaan, terutama tentang: "sakit hatinya karena apa sih?". Ketika kedua belah pihak berkomunikasi, maaf-memaafkan bisa jauuuh lebih mudah. Saya pernah punya pengalaman seperti ini soalnya. Saya menghindari orang tersebut karena sakit hati. Beruntung orang tersebut menghubungi dan bertanya. Alhamdulillah sekarang malah santai dengan orangnya, dan hubungan bertambah baik. Alhamdulillah. Dengan kejadian itu saya belajar bahwa ketika pangkal masalah dibicarakan secara terbuka, masalah sakit hati kemungkinan besar bisa beres. Insya Allah..

Pernah sih ketemu orang dengan tipe ngeyel dan angkuh. Resikonya, bisa tambah sakit hati untuk beberapa saat tapi dengan begitu kita bisa tarik garis tegas, "Oke, orang ini tidak bisa saya jadikan teman. Cukup kenalan". Seiring waktu, maaf pasti bisa terjadi setelah kita menerima kenyataan bahwa orang tersebut memang seperti itu. Pembalasan tidak perlu dilakukan karena toh suatu saat setiap orang akan selalu mendapatkan balasan atas apa yang dikerjakannya. *hukum yang berlaku universal*

memaafkan untuk melupakan
(sumber gambar: www.pinterest.com)
Masalah kesengajaan, selalu terasa beda antara sengaja dan tidak sengaja. Kalau tidak sengaja tapi masih tidak dimaafkan (dengan atau tanpa permintaan maaf), itu bukan tanggung jawab kita karena kesalahpahaman banyak terjadi di dunia ini. Maka dari itu harus diingat, komunikasi sangat penting untuk introspeksi agar kesalahan itu dapat diperhatikan sehingga tidak terulang di masa datang....

Ini hanya sekadar berbagi pengalaman, melihat "maaf" dari sisi meniru sifat Tuhan tanpa mengabaikan sisi "kemanusiaan". Mohon maaf jika ada pilihan kata/kalimat yang kurang berkenan. Mungkin bisa kita diskusikan biar lebih banyak pelajaran hidup yang kita dapat. Kita sama-sama belajar.