3.08.2013

Cerita si Burung

Tadi sore kepala saya pusing sebelah. Namun setelah diurut dengan minyak kayu putih oleh Mama, pusing yang saya rasakan mereda.
#Terima kasih Mama sayang...

Nah, sebelumnya, saat melihat saya sedang pusing, Kanda sempat bertanya ingin makan apa. Saya bilang saya ingin sekali makan lengkeng. Alhasil setelah sholat magrib dan makan malam, Kanda pergi untuk membelikan saya lengkeng.

Hampir pukul delapan, Kanda pulang. Bunyi pagar digeser, tapi pintu rumah belum juga dibuka. Dari dalam, Saya, Mama, Bapak, dan Anong mendengar suara aneh. Awalnya saya pikir Kanda yang mencoba mengganggu Anong dari balik jendela. Ternyata bukan.

Setelah dibuka, kami terkaget-kaget dengan apa yang dibawa Kanda --selain kantong plastik merah berisi lengkeng, tentu saja--. Di tangan kiri Kanda memegang plastik lengkeng sedang di tangan kanan, Kanda memegangi burung sejenis keroak (saya kurang tau pastinya). Burung tersebut tampak panik dan mencoba kabur. Saya kasihan, tapi Kanda tetap tenang memeganginya.

Kanda berkata, burung tersebut naik ke teras dan saat Kanda datang burung tersebut panik dan menabrak dinding rumah kami. Makanya Kanda tangkap dulu untuk memastikan jika ada yang salah dengan burung liar tersebut. Sepertinya burung tersebut terluka. Kanda bilang, mungkin burung itu korban penembakan orang-orang yang mengaku "pencinta burung". Orang-orang jahat itu memang biasa berkeliaran di komplek kami. Mudah dikenali karena selalu sambil membawa senapan angin untuk menembaki burung. Sok jago.

Saat diperiksa, tidak ada luka. Syukurlah. Bisa jadi tembakannya meleset sehingga si burung bisa melarikan diri.

Dalam hati saya geram sekali. Maksud saya, kalau memang mencintai burung, kenapa mereka tidak membiarkan saja burung-burung terbang bebas? Ini kok ditembakin?

Nyaketkan ati!

Nah, karena sudah malam, kami kebingungan mau menempatkan burung tersebut di mana. Kami tidak langsung melepaskannya karena rasanya tidak mungkin melepaskan burung liar di komplek perumahan. Bisa-bisa burung tersebut mati tertabrak atau diserang kucing. Karena itu Bapak menyarankan agar burung tersebut dimasukkan ke dalam sangkar burung kami saja. Sangkar burung tersebut sudah lama kosong karena kami sekeluarga sudah insaf untuk tidak memelihara burung lagi.

Akhirnya si burung ditempatkan di sangkar yang tergantung di teras samping. Rencananya besok pagi-pagi Kanda akan mengajak Anong untuk melepaskannya di Hutan Arboretum untan. Jadilah kami tenang-tenang saja.

Tapi ternyata kami salah...

Saat pukul setengah sembilan, Kanda yang mau mengunjungi ibu (mama mertua saya) melihat ke kandang dan mendapati burung liar tersebut melukai dirinya karena mencoba melarikan diri dari sangkar. Kulit di dekat paruhnya merah karena dia memaksakan kepalanya melewati sela-sela sangkar. Badannya pun terbungkuk, mungkin sangkarnya terlalu kecil untuk ukuran burung pemakan ikan seperti burung tersebut. Kasihan kami melihatnya.

Tak tega, saya bertanya kepada Kanda apakah mungkin untuk mengantarkannya malam ini saja. Kanda setuju, apalagi burung tersebut liar dan pastinya tidak makan pelet, kata Kanda. Dari bentuk paruhnya bisa diperkirakan makanan si burung adalah ikan kecil. Kasihan jika menunggu besok, bisa-bisa ia sakit dan kelaparan. Akhirnya setelah mengoleskan obat luka dan memastikan tidak ada luka lain, dan berharap lukanya segera sembuh, Kanda memasukkannya ke dalam kotak agar mudah membawanya ke Arboretum untuk dilepaskan.
Maafkan kami, kekurangtahuan kami ya, burung manis...

Si Burung

Semoga ia dan hewan liar lain di luar sana lebih beruntung dan dilindungi Allah selalu. Aamiin...

Dan semoga kita, para manusia, lebih perduli, lebih menghargai kehidupan dan tidak merusak alam lagi.
Tidakkah kita sedih bila membayangkan manusia --makhluk sejenis kita-- ditembaki hanya untuk kesenangan belaka?
Tidakkah kita yang dibekali akal agar menjadi khalifah di muka bumi ini dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan makhluk lain?