5.29.2011

Gara-Gara Majalah Lama

Malam ini saya membolak-balik majalah masa kecil.  Bukan majalah lama, memang, karena terbitan 2 tahun lalu.  Tapi yang pasti nama majalahnya masih tetap sama, dari saya belum sekolah sampai sekarang.  Maskot majalah kesayangan saya dan kakak saya semasa kecil itu pun tidak berubah.  Majalah yang saya pegang masih tetap bermaskotkan kelinci berwarna biru sedang majalah yang satunya lagi (yang sangat digemari kakak saya) bermaskotkan bebek lucu.

Kebetulan, hari ini ada 2 orang keponakan di kediaman orang tua saya.  Lita hanya datang berkunjung, sedangkan Isna memang menginap untuk mengikuti tes masuk universitas beberapa hari ke depan.  Saya pun bercerita tentang kenangan masa lalu saya dengan majalah yang saya pegang.  Mulai dari cerita penyihir dan sahabat kurcacinya, seekor gajah kecil berbelalai panjang dan sahabat kucingnya, cerita kelinci biru dan keluarganya, sampai cerita dongeng yang pernah saya baca.  Beberapa cerita masih saya ingat jelas, tapi kebanyakan sih, sudah lupa.  Hehehehe...

Lembaran demi lembaran saya buka dan saya mulai membanding-bandingkan dengan tampilan majalah itu di masa lalu.  Tampilan sekarang memang berkesan lebih modern, lebih berwarna dan tulisannya pun lebih padat berisi.  Yang saya paling suka, bahasa yang santun dan mencerdaskan untuk anak bangsa umur sekolah dasar tampaknya masih tetap dipertahankan majalah kelinci biru itu.  Perbedaan lainnya, mungkin, halaman kuis dan sponsornya yang  sekarang sudah jauh lebih banyak.  Makanya tidak heran juga, halamannya lebih tebal dan harganya pun lebih mahal sekarang. (( Dulu, 500 rupiah aja udah terasa mahal, hehehe....))

Bicara soal kuis, saya jadi ingat kerjaan saya dan kakak saya semasa SD-SMP dulu...

Dulu, saya dan kakak berburu sahabat pena lewat majalah-majalah kami tadi.  Pemenang kuis kan biasanya dicantumkan beserta alamat dan kode pos tuh.  Nah, kami yang bermodalkan jiwa persahabatan pun mulai menulis surat perkenalan.  Saya sebenarnya lupa juga, apa aja yang dulu saya tulis dalam surat perkenalan.  Tapi yang pasti isinya tidak muluk-muluk, cuma pengen kenalan aja.  Kalau berminat untuk berteman, silakan balas.  Kalau tidak juga tidak papa.  Sesuai yang diajarkan Bu Guru, kami selalu menulis dengan urutan salam pembuka - sedikit kata pengantar - isi singkat - sedikit biodata - penutup - diakhiri tanda tangan yang lebih mirip corat-coret (kalau dilihat sekarang).

Setelah selesai menulis biasanya kami langsung menggowes sepeda kami ke kantor pos dekat rumah, membeli perangko dan tertawa-tawa memainkan bagian belakang perangko yang lengket-lengket karena kami jilati.  Setelah memastikan alamat yang dituju, alamat kami dan perangko yang sudah tertempel rapi, ditambah sedikit tulisan berukuran mini untuk pak pos di bagian sudut kiri atas (biasanya berbunyi : "Jangan dilipat ya, Pak Pos, ada fotonya" atau "Cepetan ya, Pak Pos" atau sekedar "Makasih ya, Pak Pos"), kami lalu menyerahkan sepenuhnya kepada petugas pos, dan pulang sambil berharap cemas, tidak sabar menanti jawaban dari teman baru.

Saya masih ingat dengan jelas, sahabat pena pertama saya bernama Vinda Rosana Indah dari Jakarta, sedangkan sahabat pena pertama kakak saya bernama Fitria Solihah dari Bandung.  Usia Vinda setahun lebih tua dari saya sedangkan kak Fitri seumuran dengan kakak saya.  Seingat saya, Kak Fitri yang lebih dulu membalas surat kakak saya beberapa bulan setelah surat perkenalan itu kami layangkan, sedangkan Vinda lebih lama dari kak Fitri (soalnya saya sempat iri karena tidak dapat surat balasan, hehehe).

Vinda yang ramah juga tidak segan-segan memperkenalkan temannya kepada saya.  Namanya Dwitya Solihati, seumuran dengan Vinda.  Persahabatan saya dan Vinda cukup lama.  Dari saya kelas 5 SD sampai kelas 2 SMP.  Setelah itu, saya lupa kenapa bisa tiba-tiba lost contact.  Mungkin salah seorang dari kami mulai malas membalas.  Entah dia atau saya.  Tapi bagaimanapun, menyenangkan sekali mengingat masa-masa persahabatan itu. ^_^

Setelah selesai bercerita mengenai sahabat pena saya tersebut, keponakan saya yang manis-manis itu pun langsung riuh rendah.  Mereka penasaran dengan rasanya mengirim surat via pos.  Maklumlah, mereka kan hidup di zaman yang lebih canggih dimana sms mengalahkan surat, mms mengalahkan kartu pos, atau counter hp mengalahkan wartel.  Jadi sangat tidak heran bila mereka terlihat lebih "sepok" (bahasa Pontianak nih) dengan teknologi lama dibandingkan dengan kecakapan mereka menerima teknologi baru.  Beda dengan saya yang sebaliknya.  Hahaha..

Untuk menuntaskan rasa penasaran mereka, saya spontan saja mengusulkan ide untuk mulai menulis surat via pos.  Ide yang kurang lazim karena menentang prinsip kecepatan informasi (terutama karena surat pribadi dikirim dengan pengiriman biasa, bukan kilat), tapi sangat menghargai orisinalitas (karena surat pribadi biasanya ditulis tangan, tidak ada copian surat kecuali jika difotokopi atau dialasi kertas karbon) dan kepuasan (karena perasaan harap-harap cemas yang terbayarkan oleh surat balasan benar-benar memberikan efek puas yang menyenangkan).

Yah, setidaknya itu menurut pendapat pribadi saya. ^___^

Setelah mengambil kertas dan spidol warna-warni, kami bertiga pun sibuk menulis pesan.  Masing-masing mempresentasikan diri lewat warna kesukaan kami.  Lita memilih spidol biru, Isna memilih spidol hijau sedangkan saya sendiri memilih spidol pink.  Untuk korban keisengan kami kali ini, saya sengaja memilih kakak saya yang kebetulan tinggal di luar kota.  Selain karena kangen dan pengalamannya mengenai berkirim surat, saya juga yakin saudari saya satu-satunya itu mau membalas surat iseng kami, tanpa mengomel karena merasa diisengi.  Tanpa perlu saya sangsikan lagi, kakak saya itu adalah salah satu guru bagi saya yang mengajarkan cara bersenang-senang dan menikmati keisengan orang lain (nb: selama keisengan itu masih bisa ditolerir dan no SARA lo ya..).  :D

Setelah menulis sesuka hati kami, kami bertiga langsung memasukkan surat-surat itu ke dalam amplop kecil berwarna putih.  Alamat kakak saya tulis dengan pulpen tinta hitam dan rencananya besok pagi saya akan mengeposkan surat itu ke kantor pos.  Saya penasaran, berapa lama surat itu akan sampai di tangan kakak, berapa lama surat balasan akan kami dapatkan, dan apa tanggapan kakak saya dan ceritanya lewat surat balasannya.

Benar-benar membuat harap-harap cemas.. ^^

Hmm, saya jadi teringat kisah ketika Bapak masih bertugas di luar kota, dulu.  Saya dan kakak sering mengirimi surat dan sangat senang membaca surat balasan Bapak.  Padahal kalau diingat-ingat, Bapak saya bertugas di luar kota sampai saya duduk di kelas 4 SD lo, jadi saya ini sudah menulis surat dari kecil.  Saya membayangkan, tulisan tangan saya saat itu pasti jelek!  ((Tapi sekarang lebih rapi kok.  Hahaha..))

Saya rasa, pantas saja saya sangat menikmati saat menulis surat.  Meskipun tidak tergolong bagus, tapi saya puas karena perasaan saya dapat tersalurkan ke arah yang positif.  Berbagi cerita, perhatian dan silaturahmi.  Setidaknya itulah hikmah utama dari berkirim surat, bagi saya.

Buat teman-teman yang mau merasakan kebahagiaan menerima surat dari sahabat, cobalah untuk mulai mengirimkan surat untuk sahabat-sahabat dekat...  Memang mungkin jauh lebih lama dibandingkan dengan sms, tapi sangat sepadan dengan perasaan bahagia saat rasa persahabatan kita dibalas dengan persahabatan yang sama.

Tapi kalau tidak dibalas juga, tidak perlu kecewa.  Masih banyak teman lain yang mungkin mau jadi sahabat kita.  Hanya saja kita terkadang kurang peka dengan keberadaan mereka.

So, keep in touch, my dear friends!  Jangan segan untuk berkirim surat.

Semoga saja per-pos-an Indonesia tidak mati, tapi semakin andal seperti yang dimiliki Jepang atau Australia atau Amerika.

Hahaha, sekian deh, omongan ngolor ngidul dari saya gara-gara majalah lama yang saya baca hari ini.  :D

Overall,  ^0^  makasih ya teman, udah baca sampe habis...